Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai
perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan
Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke
STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena
sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar
antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem
Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis
handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik
sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain
ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi
sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi
Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat
Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan
dalam berbangsa dan bernegara.
Kemudian, bersama Douwes
Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia
mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran
nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan
mencapai Indonesia merdeka.
Mereka berusaha mendaftarkan
organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah
kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur
Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan
menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya
adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa
nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah
kolonial Belanda.
Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status
badan hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada
November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari
Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite
Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang
bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari
penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk
membiayai pesta perayaan tersebut.
Sehubungan dengan rencana
perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens
Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar
Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga).
Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de
Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:
"Sekiranya
aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta
kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya.
Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga
tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana
perayaan itu.
Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja
sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo
teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa
yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah
kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu
pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun".
Akibat
karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral
Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman
internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah
tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun
dihukum buang ke Pulau Bangka.
Douwes Dekker dan Cipto
Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil.
Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi
pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan
memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena
hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto
Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.
Namun mereka menghendaki
dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak
hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri
Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.
Kesempatan
itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran,
sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh
Europeesche Akte.
Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di
tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian
dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.
Setelah pulang dari
pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan
sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut
Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan
ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik
agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh
kemerdekaan.
Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina
Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan
mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan
kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian
dicabut.
Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam
dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema
tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan
berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui
tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan
nasional bagi bangsa Indonesia.
Sementara itu, pada zaman
Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap
dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat
(Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan
di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.
Setelah
zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar
Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan
pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei
dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai
Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305
Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya
adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun
1957.
Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu,
ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan
dimakamkan di sana.
Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman
Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk
melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam
museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai
pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi
museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting
serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis,
pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam
mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.
Bangsa
ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu
memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis,
suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan
sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang
asasi.
Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan
Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang
memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang
untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar